blog-img
01/11/2018

PILKADA SERENTAK DAN PENGUATAN DEMOKRASI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Ade Chandra Saputra | Artikel Hukum

Oleh: Dr. Anthon Raharusun, S.H.,M.H. Ketua DPC PERADI Kota Jayapura

PENDAHULUAN

 

Dinamika ketatanegaraan di Indonesia semakin berkembang seiring dengan dinamika perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) 1945. Secara teoritis pengubahan dan perubahan suatu konstitusi dapat dilihat sebagai bagian dari sebuah proses penyempurnaan ketatanegaraan sebagai akibat dinamika perubahan sistem politik hukum dan demokratisasi. Upaya penyempurnaan atas kekurangan lahiriah yang terdapat dalam suatu konstitusi, menurut   K.C. Wheare dapat dilakukan melalui formal amandement, constitutional convension, ataupun judicial interpretation. Seiring dengan hal tersebut, penyempurnaan dan pengubahan terhadap UUD 1945 baik perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat (bahkan kelima nanti) diharapkan mampu menciptakan dan mengawal transisi politik kekuasaan yang otoritarianisme menuju era demokrasi konstitusional sebagai upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis baik pada level nasional (pemerintah pusat) mapun pada level sub nasional (pemerintah daerah).

 

Pada era reformasi muncul gumpalan aspirasi dan gugatan kuat agar pemilu sebagai sarana paling nyata bagi pelaksanaan demokrasi harus diselenggarakan secara benar-benar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pada pemilu tahun 1999 kita boleh bergembira karena berhasil menyelenggarakan secara ralatif fair dan bersih, terutama jika dibandingkan dengan pemilu era Orde Baru. Meskipun harus diakui pada tingkat Panitia Pemilihan Indonesia yang diisi dengan orang-orang parpol itu terjadi kekisruhan dalam penetapan hasil pemilu, tetapi akal sehat publik (public commen sense) menyatakan bahwa pemilu tahun 1999 adalah pemilu yang terbaik setelah pemilu yang pertama tahun 1955. Tetapi problem atau ancaman bagi penyelenggaraan pemilu yang membaik itu muncul lagi sejak pemilu legislatif tahun 2004, lalu menguat lagi pada pemilu tahun 2009, terutama terkait dengan isu politik uang (money politic) dan gejala menguatnya oligarki di kalangan partai politik. Problem yang tidak kondusif, bahkan mengacam demokrasi, ini bisa dilihat dari berbagai kasus yang dimuat secara telanjang di berbagai media massa dan menjadi kasus sengketa hasil pemilu dan pemilu kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, permasalahan lain yang seringkali terjadi dalam Pemilu baik pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu kepala daerah adalah terkait dengan daftar pemilih yang tidak akurat (daftar pemilih tetap), manipulasi dalam perhitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara, netralisasi institusi penyelenggara, dan berbagai permasalahan lainnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu.

 

Pemilihan Umum merupakan syarat minimal penyelenggaraan sistem demokrasi, di mana para pembuat keputusan kolektif tertinggi dalam sistem itu dipilih melalui mekanisme yang jujur, adil, dan berkala. Oleh karena itu, dalam perkembangan sejarah negara-negara modern, pemilu dianggap sebagai tonggak bagi tegaknya sistem demokrasi. Mengaitkan pemilu dengan demokrasi sebenarnya dapat dilihat dalam hubungan dan rumusan yang sederhana sehingga ada yang mengatakan bahwa pemilu merupakan salah satu bentuk dan cara yang paling nyata untuk melaksanakan demokrasi. Jika demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka cara rakyat untuk menentukan pemerintahan itu dilakukan melalui pemilu. Hal ini menjadi niscaya karena di zaman modern ini tidak ada lagi demokrasi langsung atau demokrasi yang dilakukan sendiri oleh seluruh rakyat seperti pada zaman polis-polis di Yunani kuno kira-kira 2.500 tahun yang lalu. Di dalam demokrasi modern, pemilu selalu dikaitkan dengan konsep demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung (indect democracy), yang berarti keikutsertaan rakyat di dalam pemerintahan dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih sendiri oleh rakyat secara langsung, bebas, sehingga hasil pemilu haruslah mencerminkan konfigurasi aliran-aliran dan aspirasi politik yang hidup di tengah-tengah rakyat. Konsep dan pemahaman yang seperti itu pulalah yang mendasari penyelenggaraan pemilu sepanjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Terdapat beberapa alasan mengapa Pemilu menjadi penting bagi sebuah negara demokrasi. Pertama, melalui Pemilu dapat dibangun basis dan konsep demokrasi. Tanpa Pemilu, tanpa persaingan yang terbuka di antara kekuatan sosial dan kelompok politik, maka tidak ada demokrasi. Kedua, Pemilu melegitimasi sistem politik. Ketiga, mengabsahkan kepemimpinan politik. Keempat, pemilu sebagai unsur pokok partisipasi politik di negara-negara demokrasi. Oleh karena itu, dinamika penyelenggaraan pemilihan kepala daerah merupakan manifestasi dan perwujudan hak-hak politik dan demokrasi rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, pemilihan kepala daerah juga dimaksudkan untuk mengukur tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap seorang pemimpin.

 

Terkait dengan beberapa alasan tersebut di atas, dalam hubungannya dengan pemilu, terutama pemilihan kepala daerah (Pilkada), maka beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung adalah: Pertama; pemilihan kepala daerah langsung memungkinkan terwujudnya penguatan demokrasi di tingkat lokal, khususnya pembangunan legitimasi politik. Ini didasarkan pada asumsi bahwa Kepala Daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang kuat,karena mendapat dukungan suara oleh rakyat secara langsung yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih. Legitimasi ini merupakan hal yang sangat penting bagi pemerintahan yang akan berkuasa. Kedua; Pemilihan Kepala Daerah langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas lokal dan penguatan terhadap nilai-nilai demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

 

Secara yuridis, dasar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis (langsung) dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”. Apabila kita mencermati amanat konstitusi tersebut, maka pemilihan kepala daerah tersebut tidak disebutkan secara tegas mengenai apakah pemilihan kepala daerah tersebut termasuk didalamnya pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota dipilih secara demokratis dalam satu pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun demikian, setelah keluarnya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian ditafsirkan termasuk di dalamnya adalah gubernur, bupati, dan walikota memiliki pasangan seorang wakil yang juga dipilih sebagai satu pasangan calon. Hal mana telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 56 UU No 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan  asas langsung,  umum,  bebas dan  rahasia, jujur  dan adil. Pasangan tersebut harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik seperti halnya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

 

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung (demokratis) dan pemilu serentak oleh rakyat merupakan suatu proses politik bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan, akuntabel dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serentak yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi yang sehat, maka persyaratan dan tata cara pemilihan Kepala Daerah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Secara umum dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih demokratis. Setidaknya ada dua alasan mengapa gagasan pemilihan langsung dianggap perlu: Pertama; untuk membuka pintu bagi tampilnya kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat  sendiri.    Kedua;  untuk  menjaga stabilitas pemerintahan agar  tidak  mudah dijatuhkan ditengah jalan. Praktik selama rezim Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999   tentang   Pemerintahan   Daerah,   menunjukkan,   bahwa   pemilihan   melalui mekanisme DPRD seringkali berseberangan bahkan tidak sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat di daerah.

 

Kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah disadari oleh para wakil rakyat yang duduk di MRP-RI, sehingga melahirkan ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Bersamaan dengan itu, dalam Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000 telah dilakukan perubahan kedua UUD 1945 yang antara lain telah mengubah Bab IV tentang Pemerintahan Daerah dengan Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B sehingga dikeluarkannya Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tersebut sejalan dengan perubahan UUD 1945.

 

Salah satu butir rekomendasi menyebutkan: sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945 atas dasar amanat TAP MPR di atas, kebutuhan untuk melakukan revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999, tidak terelakkan, apalagi Pasal 18 UUD 1945 yang menjadi dasarnya, pasca perubahan kedua UUD 1945 telah disempurnakan dan ditambah menjadi  semakin jelas dan terperinci. Disisi lain, pengaturan pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengandung sejumlah kelemahan baik dari segi sistem maupun aturan teknisnya.

 

Dalam konteks pelaksanaan desentralisasi politik, saat ini Indonesia telah melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang dimulai sejak 1 Juni 2005 sebagai manifestasi dari upaya penguatan agenda demokratisasi di daerah.

 

Namun, implementasi  kebijakan desentralisasi politik telah menimbulkan dinamika politik yang cukup tinggi dalam kurun waktu 2005-2014, di mana penyelenggaraan Pilkada membawa implikasi yang negatif di satu sisi, yakni membawa potensi tidak terselenggaranya pemerintahan daerah secara efektif dan efisien, sekaligus memicu terjadinya konflik-konflik horizontal.  Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang berbagai problematika yang ada serta pemahaman bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah sudah tidak sejalan dengan tuntutan demokrasi kekinian saat ini, maka pengaturan tentang Pemilihan Kepala Daerah perlu diatur dalam UU tersendiri. Terkait dengan pengaturan Pilkada dalam UU tersendiri ini, DPR-RI telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang). Undang- Undang ini antara lain diarahkan untuk memproyeksikan format Pilkada yang ideal kedepan, sekaligus meletakan Pilkada secara konsisten dalam konfigurasi ketatanegaraan Indonesia dengan menata kembali mekanisme Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di Indonesia  dengan berbagai dinamika sosial-politik dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu Pilkada serentak selain dimaksudkna untuk memperkuat demokrasi di aras lokal juga merupakan mekanisme untuk melahirkan pemerintahan daerah yang mampu menciptakan akuntabilitas dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kesetaraan hak warga negara dalam berpolikan serta bagi penguatan demokrasi nasional. Selain itu, salah tujuan dilaksanakannya Pilkada serentak baik pemilihan gubernur, bupati, walikota adalah agar terciptanya efektivitas dan efisiensi anggaran negara. Misalnya saja, pemilihan Gubernur yang berbarengan dengan pemilihan Bupati atau Walikota, pembiayaan atas petugas TPS hanya perlu dibayarkan satu kali termasuk biaya bimbingan teknis, biaya sosialisasi, dan biaya-biaya lain untuk  pembiayaan satu kali pemilihan, termasuk proses rekapitulasi pemilihan gubernur, proses pemungutan dan perhitungan suara bupati, walikota. Dalam kaitannya dengan efisiensi anggaran ini, KPU juga melakukan pembatasan pengeluaran biaya kampanye. Pembatasan dilakukan dengan memperhitungkan metode kampanye, jumlah kegiatan, perkiraan jumlah peserta, standar biaya daerah, bahan kampanye yang diperlukan, cakupan wilayah dan kondisi geografis, logistik dan manajemen kampanye. Hal ini dilakukan KPU agar para calon kepala daerah diharapkan tidak terjebak dengan politik uang (money politic). Problem lainnya yang menjadi perhatian utama KPU dalam penyelenggaraan Pilkada serentak adalah terkait dengan sosialisasi. Sebab partisipasi pemilih Pilkada secara nasional telah diambang titik kritis, terutama di sejumlah kota besar di Indonesia seperti Medan, Surabaya dan Bandung. Terkait dengan sosialisasi ini menurut KPU, setidaknya ada tiga metode yang akan digunakan untuk aktivitas sosialisasi, yakni komunikasi massa seperti tatap muka, pertemuan terbatas, diskusi; iklan di media cetak, elektronik, media sosial dan sosialisasi melalui berbagai jejaring yang dimiliki KPU.

 

Berdasarkan uraian diatas, pertanyaan mendasar dalam penulisan ini berfokus pada:   Pertama: Problem-problem apa sajakah yang seringkali terjadi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia. Kedua: apakah Pilkada serentak dapat memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ?. dan apakah Pilkada serentak juga merupakan momentum konsolidasi sistem demokras Pancasila?

 

Oleh karena itu, sebelum Penulis menguraikan atau membahas lebih lanjut mengenai artikel ini, maka terlebih dahulu membahas beberapa teori yang relevan dengan topik pembahasan dalam penulisan ini, terutama mengenai bagaimana hubungan teoretik antara partai politik dalam sebuah negara demokrasi dengan proses demokrasi itu sendiri (baca: pemilu), termasuk bagaimana pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

 

Bagikan Ke:

Kategori

Populer